Industri kreatif pasti bertahan

Tiga bulan berselang, dampak dari hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap konten premium yang didistribusikan oleh operator telekomunikasi mulai dirasakan oleh industri kreatif, mulai dari musik hingga permainan (game mobile).

Potensi kehilangan pendapatan yang dirasakan operator telekomunikasi juga dirasakan oleh para penyedia konten (content provider/CP). Mereka bahkan terkena imbas yang jauh lebih besar hingga sebagian harus gulung tikar.

Karena nila setitik, rusak susu sebelanga’, peribahasa yang sangat tepat menggambarkan situasi ini, bagaimana para penyedia konten bermutu seperti edukasi terkena dampak dari kesalahan konten abal-abal.

Iqbal Farabi, Pemilik PT Benang Komunika Infotama mengaku pendapatan perusahaan dari bisnis CP turun hingga 90% sehingga dirinya harus melakukan diversifikasi usaha untuk bertahan.

“Sudah banyak perusahaan yang tutup akibat ulah CP nakal sehingga masyarakat tidak lagi percaya. Padahal, masih banyak konten bagus yang bisa dinikmati dan layak dijadikan konten berlangganan,” ujarnya kepada Bisnis, baru-baru ini.

Wakil Bendahara Umum Hipmi ini menambahkan dari 225 CP yang terdaftar di Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI), hampir 40% diantaranya atau sekitar 90 perusahaan telah menutup usahanya.

Dari industri musik, Asirindo sudah berteriak sejak dua bulan lalu mengeluhkan penurunan jumlah penjualan ring back tone (RBT) hingga 70% sejak tsunami sedot pulsa melanda.

Jusak Irwan Sutiono, Direktur Asosiasi Industri Perusahaan Rekaman Indonesia (Asirindo) mengatakan layanan RBT sebelumnya menyumbang hampir 90% dari total pendapatan industri musik, sisanya dari penjualan CD dan kaset. 

Sejak terjadinya kasus sedot pulsa, sumbangan dari layanan RBT turun hingga 20%.
Pencapaian penjualan konten musik oleh musisi Indonesia pun turun menjadi Rp450 miliar pada 2011 dibandingkan dengan perolehan tahun sebelumnya sebesar Rp500 miliar.

Managing Director Waner Music Indonesia ini masih melihat bagaimana proses recovery bisnis bisa terjadi hingga April mendatang, jika tidak ada perbaikan, maka bisnis industri rekaman diyakini bakalan senasib dengan para CP yang harus tutup warung.

Perusahaan sekelas Warner pun bisa dengan terpaksa melepas kontrak 75% artis karena tidak ada pendapatan. Pengurangan jumlah artis dilakukan untuk mengurangi biaya promosi yang besarnya sekitar Rp500 juta--Rp1 miliar per lagu.

Industri musik di Indonesia saat ini tidak bisa lagi mengandalkan penjualan lagu full track karena tingginya angka ilegal download via internet yang dialami juga oleh hampir seluruh musisi di dunia.

Data Asiri mencatat sekitar 5--6 juta lagu hasil karya artis Indonesia di bajak setiap harinya. Jika per lagu dinilai Rp1.000, maka kerugian industri mencapai Rp1,5 triliun per tahun.

Kreatif bertahan
Ketika industri musik perlu upaya penyelamatan dan berbagai pihak, termasuk terbangunnya kepercayaan masyarakat untuk menikmati RBT maupun berlangganan full track song dengan berbagai paket layanan yang ditawarkan operator seluler, bagaimana dengan industri kreatif lainnya?

Kehidupan para pengembang aplikasi dan game ternyata masih bertahan dengan kreativitas mereka melihat peluang bisnis tidak hanya melalui jalur operator seluler. Adanya channel lain seperti Android Market atau memasarkan langsung secara online menjadi alternatif.

Arief Widhiyasa, Chief Executive Officer (CEO) Agate Studio, perusahaan game development lokal mengatakan pihaknya dan komunitas kreatif di bidang telematika berusaha melihat kasus ini dari sisi positifnya.

“Sekarang market lebih teredukasi untuk memilih konten yang dibutuhkan dan benar-benar dipakai. Termasuk game, masyarakat jadi lebih selektif dalam membeli game sehingga memacu kami, para game developer untuk semakin meningkatkan kualitas,” ujarnya.

Konten yang baik pada dasarnya harus memiliki nilai nyata dan benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Hal tersebut menjadi tolak ukur sepanjang apa usia sebuah konten di pasar.

Sarwoto Atmosutarno, Ketua Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia (ATSI) menegaskan pihaknya siap menggandeng CP kembali dan berusaha bersama mengembalikan pertumbuhan bisnis konten.

“Kami siap meluncurkan layanan tersebut dengan perbaikan cara akses ke content provider serta perlindungan ke konsumen,” ujarnya.

Dalam hitungan ATSI, layanan konten premium mampu memberikan kontribusi sebesar 7% dengan nilai sekitar Rp5 triliun—Rp6 triliun bagi total pendapatan operator telekomunikasi. Pada 2011 terdapay 400 CP dengan pelanggan layanan mencapai 45 juta nomor.

Sarwoto melihat layanan data akan semakin meningkatkan perkembangan konten dengan materi full entertainment, berisi RBT, aplikasi, payment, merchandise, tiket konser, pertunjukan dan full track song.

“Industri ini merupakan industri masa depan. Manajemen industri berhasil kalau pertumbuhan konten bagus,” ujarnya. 

*full version dari artikel yang pernah dimuat oleh harian Bisnis Indonesia, Januari 2012