Sarana transportasi darat, terutama di jalan raya, dinilai masih dalam kondisi memprihatinkan. Permasalahan tidak hanya pada jeleknya kualitas pelayanan kepada masyarakat, tetapi ada kepentingan internal yang tarik menarik.
Tengoklah kondisi transportasi umum di jalan raya, tuntutan pelayanan terbaik pada masyarakat terasa begitu sulit dilaksanakan.
Banyaknya pungutan liar (pungli), biaya operasional tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar, mahalnya biaya perawatan kendaraan dan suku cadang, hingga penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor yang sering disebutkan sebagai biang kerok rendahnya pelayanan angkutan umum.
Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) bahkan sampai mengeluarkan sejumlah tuntutan yang meliputi pemberian subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) bagi angkutan umum, pemberantasan pungli, penghapusan peraturan daerah yang berisi sejumlah retribusi yang dibebankan kepada angkutan umum, perbaikan infrastruktur, dan tindakan tegas terhadap angkutan umum pelat hitam.
Tuntutan tersebut dikeluarkan bersamaan dengan ancaman mogok nasional yang dibatalkan kurang dari seminggu setelah pengumuman, akhir Mei. Organda saat itu mengatakan tidak akan menaikkan tarif jika subsidi diberikan.
Organisasi pengusaha tersebut mengatakan permintaan itu dikeluarkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, agar tarif tidak dinaikkan di tengah turunnya daya beli masyarakat.
Tuntutan organda
"Kondisi transportasi sudah memprihatinkan, kami sudah tidak lagi berbicara tarif melainkan biaya pokok. Kami minta selisih antara biaya pokok dan tarif kalau rugi disubsidi pemerintah, kalau untung untuk pengusaha," ujar salah seorang perwakilan Organda dalam suatu rapat dengar pendapat dengan komisi V DPR.
Tuntutan poin pertama Organda mengenai subsidi harga BBM agar tarif tidak naik dan masyarakat diuntungkan menjadi ironis ketika dibandingkan dengan pernyataan resmi organisasi tersebut kepada Komisi V DPR.
Sedikit melihat ke belakang, organisasi ini awalnya memperkirakan kenaikan tarif sekitar 25%-30% ketika pemerintah mulai mewacanakan kenaikan harga BBM. Pascaharga BBM naik, organisasi tersebut malah menyatakan penolakan dan menuntut subsidi.
Kekhawatiran dan realitas terjadinya penurunan tingkat isian penumpang ketika tarif dinaikkan menjadi alasan organisasi tersebut menyuarakan permintaan subsidi kepada pemerintah.
Namun, pernyataan di rapat dengar pendapat tersebut menciptakan sebuah pertanyaan besar. Apakah subsidi tersebut nantinya akan dinikmati sebagai keuntungan pengusaha atau minimal pengusaha tidak merugi?
Kenaikan BBM memang menaikkan biaya operasional pengusaha angkutan umum yang berasal dari semakin besarnya kebutuhan dana untuk membeli bahan bakar, dan efek domino kenaikan harga suku cadang serta biaya perawatan.
Masyarakat pun tidak banyak yang mengalami penyesuaian penghasilan seiring dengan naiknya harga BBM. Selain biaya transportasi, harga barang kebutuhan pokok sendiri telah merangkak naik.
Di luar Organda, pengemudi langsung melakukan aksi mogok meminta kenaikan tarif hingga melakukannya secara sepihak.
Salah satu contohnya bemo, atas nama paguyuban atau perhimpunan trayek tertentu dengan sepihak mereka menaikkan tarif antara Rp500 dan Rp1.000 per penumpang.
Hampir seluruh daerah di Indonesia secara resmi telah mengeluarkan surat keputusan kenaikan tarif angkutan umum untuk angkutan kota ataupun bus antarkota dalam provinsi (AKDP).
Kenaikan berlaku bervariasi tidak jauh dari kenaikan tarif bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang ditetapkan Departemen Perhubungan sebesar 30%.
Sampai saat ini tidak ada jaminan dari pemerintah ataupun Organda jika subsidi diberikan maka pengusaha akan menurunkan kembali tarif baru yang telah berlaku saat ini.
Ketua Umum Organda Murphy Hutagalung mengatakan Organda meminta subsidi minimal 20% dari selisih harga antara harga BBM baru yang naik 28,7% dari harga BBM lama.
"Kami meminta subsidi karena selama ini belum pernah ada subsidi bagi angkutan umum," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Tiga pekan lalu, organisasi ini menyatakan besar permintaan subsidi BBM untuk angkutan umum sekitar Rp9,7 miliar per tahun melalui mekanisme kartu pintar (smart card).
Tengoklah kondisi transportasi umum di jalan raya, tuntutan pelayanan terbaik pada masyarakat terasa begitu sulit dilaksanakan.
Banyaknya pungutan liar (pungli), biaya operasional tinggi akibat kenaikan harga bahan bakar, mahalnya biaya perawatan kendaraan dan suku cadang, hingga penurunan daya beli masyarakat menjadi faktor yang sering disebutkan sebagai biang kerok rendahnya pelayanan angkutan umum.
Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) bahkan sampai mengeluarkan sejumlah tuntutan yang meliputi pemberian subsidi harga bahan bakar minyak (BBM) bagi angkutan umum, pemberantasan pungli, penghapusan peraturan daerah yang berisi sejumlah retribusi yang dibebankan kepada angkutan umum, perbaikan infrastruktur, dan tindakan tegas terhadap angkutan umum pelat hitam.
Tuntutan tersebut dikeluarkan bersamaan dengan ancaman mogok nasional yang dibatalkan kurang dari seminggu setelah pengumuman, akhir Mei. Organda saat itu mengatakan tidak akan menaikkan tarif jika subsidi diberikan.
Organisasi pengusaha tersebut mengatakan permintaan itu dikeluarkan untuk melindungi kepentingan masyarakat, agar tarif tidak dinaikkan di tengah turunnya daya beli masyarakat.
Tuntutan organda
"Kondisi transportasi sudah memprihatinkan, kami sudah tidak lagi berbicara tarif melainkan biaya pokok. Kami minta selisih antara biaya pokok dan tarif kalau rugi disubsidi pemerintah, kalau untung untuk pengusaha," ujar salah seorang perwakilan Organda dalam suatu rapat dengar pendapat dengan komisi V DPR.
Tuntutan poin pertama Organda mengenai subsidi harga BBM agar tarif tidak naik dan masyarakat diuntungkan menjadi ironis ketika dibandingkan dengan pernyataan resmi organisasi tersebut kepada Komisi V DPR.
Sedikit melihat ke belakang, organisasi ini awalnya memperkirakan kenaikan tarif sekitar 25%-30% ketika pemerintah mulai mewacanakan kenaikan harga BBM. Pascaharga BBM naik, organisasi tersebut malah menyatakan penolakan dan menuntut subsidi.
Kekhawatiran dan realitas terjadinya penurunan tingkat isian penumpang ketika tarif dinaikkan menjadi alasan organisasi tersebut menyuarakan permintaan subsidi kepada pemerintah.
Namun, pernyataan di rapat dengar pendapat tersebut menciptakan sebuah pertanyaan besar. Apakah subsidi tersebut nantinya akan dinikmati sebagai keuntungan pengusaha atau minimal pengusaha tidak merugi?
Kenaikan BBM memang menaikkan biaya operasional pengusaha angkutan umum yang berasal dari semakin besarnya kebutuhan dana untuk membeli bahan bakar, dan efek domino kenaikan harga suku cadang serta biaya perawatan.
Masyarakat pun tidak banyak yang mengalami penyesuaian penghasilan seiring dengan naiknya harga BBM. Selain biaya transportasi, harga barang kebutuhan pokok sendiri telah merangkak naik.
Di luar Organda, pengemudi langsung melakukan aksi mogok meminta kenaikan tarif hingga melakukannya secara sepihak.
Salah satu contohnya bemo, atas nama paguyuban atau perhimpunan trayek tertentu dengan sepihak mereka menaikkan tarif antara Rp500 dan Rp1.000 per penumpang.
Hampir seluruh daerah di Indonesia secara resmi telah mengeluarkan surat keputusan kenaikan tarif angkutan umum untuk angkutan kota ataupun bus antarkota dalam provinsi (AKDP).
Kenaikan berlaku bervariasi tidak jauh dari kenaikan tarif bus antarkota antarprovinsi (AKAP) yang ditetapkan Departemen Perhubungan sebesar 30%.
Sampai saat ini tidak ada jaminan dari pemerintah ataupun Organda jika subsidi diberikan maka pengusaha akan menurunkan kembali tarif baru yang telah berlaku saat ini.
Ketua Umum Organda Murphy Hutagalung mengatakan Organda meminta subsidi minimal 20% dari selisih harga antara harga BBM baru yang naik 28,7% dari harga BBM lama.
"Kami meminta subsidi karena selama ini belum pernah ada subsidi bagi angkutan umum," ujarnya kepada Bisnis, kemarin.
Tiga pekan lalu, organisasi ini menyatakan besar permintaan subsidi BBM untuk angkutan umum sekitar Rp9,7 miliar per tahun melalui mekanisme kartu pintar (smart card).
Bisnis Indonesia, 18 Juni 2008