Mengintip transportasi pulau terluar Indonesia

Para penumpang berjalan keluar dari pesawat militer yang baru landing

Bagian Pertama

Kabupaten Natuna atau Kepulauan Natuna, sebuah wilayah hasil pemekaran dari kecamatan dengan wilayah teritorial terdiri dari 232 pulau dengan tujuh pulau besar seperti Bunguran, Midai, Serasan, Subi, Matak dan Laut.
Secara geografis letak kabupaten ini lebih dekat dengan wilayah negara Malaysia dan Singapura dibandingkan dengan wilayah Indonesia. Hal ini mengapa Kabupaten Natuna dikatakan sebagai pulau terluar Indonesia.
Letaknya yang strategis, langsung menghadap Laut Cina Selatan membuat beberapa negara mengincarnya sebagai lokasi penyimpanan cadangan minyak mentah.
Kepulauan Natuna juga memiliki potensi besar dengan kekayaan sumber daya alamnya berupa gas dan minyak bumi. Secara kasat mata kekayaan alam di sini potensial dikembangkan menjadi sarana wisata menandingi Pulau Bali.
Saat ini, hanya 30% atau sekitar 70 pulau dari total pulau di Kabupaten Natuna yang berpenghuni. Sebuah pulau sendiri sudah dapat dikatakan berpenghuni ketika ditinggali oleh lima keluarga.
Pertengahan bulan lalu, akhirnya Fita memperoleh kesempatan mengunjungi kepulauan indah ini bersama Departemen Perhubungan dalam kegiatan monitoring pulau terluar Indonesia selama beberapa hari.
Selama kegiatan ini banyak hal menarik ditemukan terkait dengan sarana dan prasarana transportasi yang bisa menjadi gambaran kondisi pulau terluar lainnya di negara ini.
Landasan udara di Pulau Bunguran sebagai ibukota kabupaten hingga saat ini masih menumpang pada pangkalan militer Indonesia yang bertugas mengawasi pulau terluar ini, padahal sudah ada dua maskapai swasta yang terbang reguler ke sini.
“Kami sudah berencana membangun terminal, apron, dan taxi way dengan biaya sekitar Rp100 miliar sehingga bandara ini statusnya bisa menjadi encraft sipil. Rencananya bisa direalisaikan tahun depan atau jika ada swasta masuk ada kemungkinan membangun bandara sendiri di sini,” ujar Kasi Udara Dinas Perhubungan Natuna Sapta Nugraha.
Maskapai penerbangan Riau Airlines dan Linus Airways secara reguler melayani rute penerbangan Batam-Natuna dan Batam-Pontianak. Khusus rute Batam-Natuna, selalu ada jadwal penerbangan maskapai swasta setiap harinya.
Riau Airlines terbang sejak tahun lalu dengan jadwal tiga kali sepekan dengan pesawat Foker berkapasitas 50 tempat duduk, sementara Linus Airways baru masuk pada awal tahun ini mengisi hari yang tidak dilayani Riau Airlines.
Angkutan kargo udara di Natuna cukup besar karena wilayah ini tidak memiliki industri, hampir seluruh produk didatangkan dari wilayah lain seperti Batam, Tanjung Pinang, Malaysia, dan Jakarta.
Kabupaten Natuna saat ini memiliki dua bandara, satu bandara khusus milik BP Migas di Pulau Matak dengan panjang runway 1.700 meter dan pangkalan militer di Ranai, Pulau Bunguran.
Pesawat militer
Potensi penumpang pesawat keluar masuk Natuna, khususnya Ranai sebagai ibukota pemerintahan ternyata tidak hanya menjadi incaran dua maskapai penerbangan saja. Pesawat militer yang bertugas melakukan pengawasan pun ikut melayani penerbangan reguler dengan layanan setara kedua maskapai lainnya.
Maskapai militer di wilayah ini melayani penerbangan dengan rute lebih lengkap, bahkan ada yang langsung dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.
Setiap bulan ada selebaran info penerbangan pesawat TNI AU yang ditempel di berbagai lokasi mulai dari bandara, penginapan, hingga pasar. September lalu makapai ini terbang delapan kali mulai 15 September hingga 28 September.
Tarif yang ditawarkan pun lebih bersaing sehingga jumlah penumpangnya bisa mencapai dua kali lipat dibandingkan penumpang maskapai Riau Airlines atau Linus Airways. Biaya sekali terbang sekitar Rp400.000 per orang hari biasa dan Rp750.000 per orang ketika musim padat mendekati Lebaran.
Kedua maskapai reguler sendiri menawarkan tarif sekitar Rp700.000 per tempat duduk hanya untuk rute Natuna-Batam.
Layanan pesawat militer di sana tidak kalah profesional, jauh dari kesan pesawat bantuan militer untuk wilayah perintis. Sistem check-in diberlakukan, bahkan tas penumpang memperoleh tanda pengenal selayaknya penerbangan reguler.
Resiko menggunakan maskapai militer ini terjadi saat ada anggota TNI akan berangkat dengan rute berbeda, harus ada penumpang yang rela diturunkan.
Pihak Departemen Perhubungan yang menyaksikan kenyataan tersebut terkaget-kaget karena pesawat militer tidak boleh digunakan untuk penerbangan reguler, apalagi sudah ada lebih dari satu maskapai penerbangan melayani rute tersebut.
Di Natuna, pesawat militer memberikan penerbangan reguler profesional dengan jadwal keberangkatan yang dipublikasikan, pencantuman lima nomer ponsel untuk pemesanan tiket, hingga pemberlakuan bawaan layaknya penerbangan sipil reguler.

Bagian Kedua


Sarana transportasi udara di kabupaten ini begitu berkembang, bahkan penerbangan pesawat TNI AU pun menawarkan tarif bersaing sekitar Rp400.000 per orang hari biasa dan Rp750.000 per orang ketika musim padat mendekati Lebaran.
Kedua maskapai reguler sendiri menawarkan tarif sekitar Rp700.000 per tempat duduk hanya untuk rute Natuna-Batam.
Layanan pesawat militer di sana tidak kalah profesional, jauh dari kesan pesawat bantuan militer untuk wilayah perintis. Sistem check-in diberlakukan, bahkan tas penumpang memperoleh tanda pengenal selayaknya penerbangan reguler.
Peluang besar pada dunia penerbangan ternyata berbanding terbalik dengan sarana transportasi jalur laut. Faktor cuaca dan kondisi geografis mempengaruhi hal ini.
“Cuaca disini pancaroba dengan angin utara yang paling dikhawatirkan oleh pelaut sehingga jadwal kedatangan kapal bisa berubah sewaktu-waktu tergantung cuaca,” ujar Kepala Syahbandar Ranai Sofyan M S.
Angkutan umum penumpang hanya dilayani oleh kapal milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) yang berlabuh di Pelabuhan Selat Lampang seminggu sekali.
Sementara Pelabuhan Ranai sendiri hanya melayani kapal kargo bermuatan di bawah 500 ton dari Batam, Tanjung Pinang, Pemangkat, Pontianak, dan Sunda Kepala (Jakarta).
Jumlah kedatangan kapal kargo rata-rata sekitar 35 kapal per bulan, turun 20% ketika musim angin utara. Mereka membawa segala kebutuhan mulai dari bahan bangunan hingga kendaraan bermotor. Mayoritas bawaan adalah semen dari Batam.
Hampir seluruh kapal memiliki muatan semen minimal 300 ton. Sampai dengan tahun lalu mayoritas kebutuhan didatangkan dari Tanjung Pinang dimana barang tersebut berasal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Sejak awal tahun, kedatangan kapal dari Jakarta semakin sering dan rutin sehingga sebagian besar barang konsumsi kini sudah berasal dari dalam negeri.
Angkutan kota
Kabupaten ini hampir tidak memiliki sarana angkutan perkotaan dan mayoritas penduduknya menggunakan sepeda motor.
Kepala Seksi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Dinas Perhubungan Natuna Masykur mengatakan jumlah sepeda motor di sini mencapai 13.000 unit dari total penduduk sebanyak 100.000 orang.
Dari jumlah penduduk itu, 60% di antaranya merupakan pegawai negeri sipil.
Masyarakat lebih memilih sepeda motor karena angkutan umum yang ada jumlahnya sangat terbatas dan tidak terjadwal. Hanya ada 10 unit kendaraan subsidi Pemkab untuk melayani 10 rute dan 80 unit angkutan ilegal pelat hitam.
Seluruh angkutan umum ilegal di wilayah ini tergabung dalam Paguyuban Organisasi Persatuan Supir Jasa Angkutan Umum (OPSJAU). Angkutan pelat hitam hanya melayani dua rute dengan tarif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angkutan umum resmi.
Untuk rute Ranai-Binjai misalnya, angkutan ilegal menerapkan tarif Rp25.000, sedangkan angkot resmi Rp5.000. Adapun, tarif untuk rute Ranai-Selat Lampang adalah Rp40.000 pada angkutan pelat hitam, sedangkan angkutan resmi Rp5.000.
“Kami tengah mendorong angkutan ilegal yang ada untuk mengurus perizinannya menjadi angkutan umum perkotaan resmi atau pelat kuning,” ujar Masykur.
Pengamatan saya selama berada di sana, sebagian besar pengguna sepeda motor di wilayah ini tidak menaati aturan lalu lintas seperti menggunakan helm dan menerapkan kedisiplinan berlalu lintas di jalan raya.
Di pusat kota Ranai, masyarakat pengguna sepeda motor yang mengenakan helm diindentifikasi sebagai ojek motor.


* Tulisan sebelum masuk dapur dari dua bagian tulisan "Mengintip transportasi pulau terluar Indonesia"