Mengembangkan cetak biru logistik ala Argentina

Indonesia masih terus menggodok cetak biru logistik yang diharapkan dapat menjadi solusi atas mahalnya biaya logistik saat ini. Penurunan biaya logistik sebesar 2% per tahun diharapkan bisa terjadi mulai tahun depan.
Sesama negara berkembang, Argentina lebih dahulu mengembangkan adanya cetak biru logistik untuk mengurangi tingginya biaya logistik.
Argentina mengidentifikasikan logistik adalah tentang memindahkan pasokan ke pabrik dan tentang memindahkan output pabrik ke berbagai pelabuhan.
Negara ini membagi logistik dalam tiga dimensi dan melakukan audit di ketiga sektor tersebut yaitu, infrastruktur dan transportasi fisik, fasilitas niaga (trade facilitation), serta penyelenggaraan jasa logistik.
Hasil audit mencatat ada lima permasalahan dalam operasional infrastruktur dan transportasi yaitu kemacetan lalu lintas di pusat pertanian terbesar negara itu, kemacetan di terminal peti kemas, terbatasnya kapasitas angkutan kereta api, keterlambatan transportasi darat internasional, dan terbatasnya pengembangan di bidang transportasi multi moda.
Pada bagian hal niaga, ternyata banyak pengurusan dokumen di pelabuhan dan lintasan darat di perbatasan masih menggunakan dokumen fisik. Duane (disini Bea dan Cukai) melakukan banyak pemeriksaan fisik yang memperlambat arus barang.
Pada dimensi ketiga, penyelenggaran jasa logistik, negara ini menemukan sebagian besar perusahaan logistik merupakan usaha kecil dan menengah (UKM) sehingga belum semuanya sanggup menyediakan layanan jasa standar internasional.
Hal tersebut membuat biaya logistik di negara tersebut cukup tinggi. Pada 2005, biaya logistik ekspor rata-rata 12,5% dan impor 14,2% dari nilai barang free on board (FOB).
FOB merupakan proses pengiriman barang dimana penjual menangung biaya pengangkutan sampai di pelabuhan pengirim. Ongkos kirim atau freight dari pelabuhan pengirim sampai pelabuhan tujuan menjadi tanggungan pembeli.
Permasalahan dalam dunia logistik di Argentina beberapa tahun lalu bisa dikatakan sama dengan masalah yang dihadapi dunia logistik Indonesia saat ini.
Konsultan Bank Dunia Henry Sandee menjelaskan biaya logistik paling tinggi yang harus dikeluarkan pengusaha di negara ini terkait dengan masalah infrastruktur dan transportasi barang dari pabrik ke pelabuhan.
Dia menggambarkan biaya pengiriman kontainer ukuran 20 feet dari kawasan pabrik di Cikarang ke Pelabuhan Tanjung Priok menghabiskan biaya hingga US$700, lebih mahal dari ongkos pengiriman dan pelabuhan tersebut hingga Rotterdam, Belanda.
Biaya pengiriman kontainer ukuran sama dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Singapura menghabiskan US$100, sementara biaya pengiriman dari Singapura ke Rotterdam sekitar US$500.
Total biaya dari Pelabuhan Tanjung Priok ke Rotterdam sebesar US$600, lebih murah US$100 dibandingkan dengan biaya pemindahan barang dari Cikarang ke Tanjung Priok sebesar US$700.
”Dari jarak tempuh, Cikarang-Tanjung Priok tidak seberapa dibandingkan Tanjung Priok-Rotterdam. Hal ini yang terjadi di Indonesia saat ini,” ujarnya.
Tingginya biaya tersebut terjadi karena masalah rusaknya infrastruktur sehingga alat transportasi yang digunakan lebih boros bahan bakar dan biaya operasional lainnya, banyaknya pungutan liar sepanjang perjalanan, dan terbatasnya kapasitas sarana transportasi lainnya yaitu kereta api.
Di pelabuhan sendiri masih banyak hal yang tidak efisien seperti pengurusan dokumen, belum selarasnya hubungan antara setiap lembaga di pelabuhan. Salah satunya contohnya ketika Lebaran, ketika satu lembaga libur beroperasi maka seluruh arus barang akan terpengaruh.
Berkaca pada Argentina, negara ini akhirnya mengusulkan suatu strategi logistik nasional berdurasi empat sampai lima tahun untuk membendung kenaikan biaya logistik.
Tindakan jangka pendek tersebut dilakukan sejalan dengan pembangunan dewan logistik nasional yang bertanggung jawab langsung kepada pemimpin pemerintahan dengan wewenang hingga pengambilan kebijakan segala hal terkait logistik.
Dewan ini terdiri dari berbagai unsur baik pemerintahan, swasta, dan lembaga perguruan tinggi dengan pengetahuan logistik.
Unsur pemerintahan yang masuk mulai dari Departemen Perhubungan, Pekerjaan Umum, Direktorat Bea dan Cukai, Perdagangan, Perindustrian, hingga UKM. Hal tersebut juga dilakukan oleh negara tetangga Indonesia, Thailand.
Argentina membagi strategi jangka pendeknya kedalam lima komponen.
Pertama, memastikan kapasitas dan mutu layanan jasa yang memadai pada simpul logistik nasional yang utama mulai dari masalah armada transportasi, pusat peti kemas, hingga terminal pelabuhan.
Kedua, meningkatkan efisiensi angkutan barang dalam negeri dengan integrasi berbagai moda transportasi. Pembaharuan dan pengembangan kualitas armada truk, pengambangan kapasitas kereta barang, dan berbagai tindakan untuk menjaga kondisi infrastruktur jalan seperti mengawasi pelaksanaan tentang aturan jembatan timbang.
Ketiga, memfasilitasi transportasi darat antar negara dan regional serta lintasan perbatasan karena negara ini memiliki perbatasan darat yang sudah sering terjadi kemacetan.
Keempat, memberi dukungan terhadap penyelenggaran logistik khususnya UKM lokal agar dapat bersaing dengan perusahaan multinasional atau asing.
Kelima, memperlancar proses dokumentasi termasuk pemeriksaan Bea dan Cukai luar negeri melalui pengurusan satu loket dan evaluasi cermat terhadap pratek pemeriksaan agar semua bisa berjalan lancar. Sejauh ini, Indonesia sendiri sudah memiliki sistem National Single Window (NSW) untuk proses pengurusan dokumen yang masih harus terus ditingkatkan kualitas pelaksanaannya.
*Tulisan ini merupakan versi asli dari tulisan "Cetak Biru Logistik Ala Argentina"