Perbedaan pendapat DPR dan Pemerintah


Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perposan antara DPR dengan pemerintah masih akan berlangsung cukup lama karena ada empat poin penting yang masih belum disepakati.
Dokumen daftar inventarisasi masalah (DIM) yang Fita peroleh kemarin mencatat empat perbedaan pendapat antara pemerintah dengan DPR terkait judul dan isi RUU yang sudah 10 tahun dibahas ini.
Pertama, DPR dalam rapat paripurna pertengahan tahun lalu menyepakati nama UU Pos diubah menjadi RUU Perposan. Hal ini dilakukan karena RUU ini nantinya tidak hanya mengatur masalah surat dan pos tapi logistik didalamnya termasuk pergudangan.
Pemerintah sendiri dalam DIM yang baru diselesaikan bulan lalu meminta RUU ini tetap bernama Pos, bukan Perposan.


Kedua, DPR telah sepakat memisahkan pengertian dokumen dengan surat, karena dokumen menjadi satu kesatuan dengan dunia logistik dan tidak berhak memperoleh dana layanan publik (publik service obligation/PSO).
Pemerintah masih memasukkan dokumen ke dalam pengertian surat. Hal ini membuka peluang adanya pemain menyebutkan dokumen tagihan maupun dokumen terkait urusan perusahaan lainnya sebagai surat bisnis.


Ketiga, mengenai masalah pelaksanaan PSO atau pihak yang berhak memperoleh dana tersebut. DPR masih meminta pelaksanaan itu diambil atau diberikan kepada perusahaan BUMN, dalam hal ini satu-satunya BUMN bidang Perposan adalah PT Pos Indonesia.
Sebaliknya, pemerintah lebih terbuka dengan memberikan kesempatan yang sama bagi perusahaan swasta dengan tambahan diberlakukannya sistem sumbangan keuntungan bagi kesejahteraan masyarakat dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Skema yang diusulkan pemerintah kepada perusahaan swasta Perposan, termasuk logistik dan kiriman ekspres didalamnya sama dengan skema yang dilakukan para operator seluler saat ini.
Di dunia telekomunikasi, operator memberikan 1% dari keuntungan perusahaan sebagai kontribusi kepada pemerintah. Di bidang Perposan besar persentase dan skema detailnya belum dibicarakan lebih jauh.


Keempat, mengenai modal asing di bisnis logistik dan kiriman ekspres. RUU dari DPR tidak mengatur detail, hanya ada aturan bahwa modal asing murni hanya boleh melayani hingga pintu gerbang negara (gateway), tidak boleh melayani pasar domestik.
Pemerintah hingga saat ini belum memberikan kejelasan mengenai aturan khusus untuk masuknya investasi asing.
Dalam aturan penanaman modal asing, pemerintah mensyaratkan modal asing masuk maksimal 49%. Pada kenyataannya banyak perusahaan di bidang logistik, kiriman ekspres dan supply chain yang murni modal asing namun bisa melayani di wilayah domestik.
Pantauan Bisnis mencatat beberapa perusahaan swasta kini murni beroperasi dengan modal asing antara lain Ceva logistik dan supply chain, DHL Global Forwarding, dan DHL Supply Chain.
“Kami dulu sempat bermitra dengan perusahaan lokal, kini murni PMA,” ujar Country IS &Solution Manager Ceva Indonesia Subhan Novianda.
Salah seorang eksekutif di DHL Express Indonesia menyatakan hanya satu DHL yang bekerjasama dengan pengusaha atau perusahaan lokal, sisanya murni modal asing masuk ke sini.
Mereka tidak hanya masuk hingga pintu gerbang, namun bisa memberikan layanan retail di wilayah Indonesia.
“Kami akan melakukan pembahasan kembali dengan pemerintah dan DPR besok, sebelum dilakukannya rapat antar departemen [interdep],” ujar Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia M. Kadrial.
Asperindo mempertanyakan keberpihakan pemerintah dan DPR kepada perusahaan jasa kiriman ekspres dan logistik swasta nasional di tengah serbuan dari perusahaan logistik dan supply chain asing yang melayani pengiriman di wilayah domestik Indonesia.