Membicarakan Bandung sebagai kota pariwisata, semua terfokus pada pusat mode aneka produk fashion. Kota ini memang memiliki keterbatasan fasilitas alam dan budaya.
Bandung bukan Bali yang sudah termasyur namanya. Bukan pula Yogyakarta dengan kekentalan kultur seni budaya. Namun, sebagai pusat fashion kota ini memang surga belanja para fashionista.
Hidup dari wisata belanja, Bandung memang baru benar-benar “hidup” pada akhir pekan, libur panjang akhir pekan (long weekend) serta liburan lainnya seperti sekolah dan hari raya.
Para wisatawan menikmati suasana belanja mulai dari baju bekas bermerek dengan harga Rp10.000 per tiga potong, hingga baju seharga Rp3 juta per potong. Semua kualitas juga tersedia di sini.
Bagaimana dengan kehidupan Bandung di luar waktu tersebut? Coba tilik dari denyut hotel yang ada di kota ini.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung M Askary W mengakui tingkat okupansi hotel di Bandung pada hari kerja (weekdays) berada pada kisaran 40%, berbeda dengan saat liburan yang bisa mencapai 90%-100%.
Terjadi selisih cukup besar dari data tersebut menunjukkan Bandung perlu menggiatkan potensi lain untuk mengisi okupansi hotel pada hari kerja dan menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Melihat kembali sejarah di masa lalu, ternyata kota ini memiliki potensi menjadi kota penyelenggeraan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) berskala internasional.
Konfrensi Asia Afrika (KAA) pada April 1955 memjadi momentum pembuktian hal tersebut. Sayangnya, pada April 2005 ketika perayaan 50 tahun KAA, kegiatan pertemuan tidak lagi dilaksanakan di kota ini, melainkan Jakarta.
Ketidakmampuan kota ini akibat dari kurangnya pembangunan fisik untuk memfasilitisasi kegiatan MICE kelas dunia. Sehingga banyak kesempatan lewat begitu saja.
Saat ini, para pengusaha hotel di Bandung dan Dinas Pariwisata Kota Bandung sedang berusaha meningkatkan kegiatan MICE di Bandung.
Tujuannya bukan hal besar untuk mengembalikan Bandung sebagai kota MICE internasional seperti saat KAA dulu, namun untuk mengisi okupansi hotel di weekdays yang rendah.
Pelaku industri pariwisata kota ini sendiri gencar meminta pemerintah untuk membangun gedung pertemuan (convention hall) dengan kapasitas diatas 5.000 orang untuk meningkatkan kegiatan MICE di kota ini.
Sayangnya, keinginan tersebut belum akan terealisasi karena belum ada pengusaha hotel ataupun pengembang yang tertarik berinvestasi membangun satu gedung pun dalam waktu dekat ini.
“Itu bukan alasan perkembangan kegiatan MICE di Bandung jadi terhambat. Berdasarkan statistik internasional, 75% kegiatan MICE hanya diikuti 200-300 peserta, bukan diatas 5.000 peserta,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) INCCA Iqbal Alan Abdullah.
Hampir semua hotel berbintang di Bandung, bahkan beberapa restoran dan kafe mampu menampung jumlah peserta tersebut. Kini, yang diperlukan adalah peningkatan fasilitas dan paket yang ditawarkan.
Dengan target 10 kegiatan MICE per hari, sudah cukup untuk menaikkan okupansi hotel hingga 75% pada hari kerja. “Kan untuk sebuah kegiatan peserta minimal tinggal selama 3 hari.”
Efek dominonya, kegiatan MICE akan menggairahkan wisata lainnya, seperti wisata belanja, kuliner dan alam. Setiap kegiatan MICE tentu dilengkapi dengan tur kota ke objek wisata unggulan daerah tersebut.
Potensi US$100 juta per tahun
Menilik data terbaru dari Indonesia Conggress and Convention Association (INCCA), Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Hongkong.
Sebanyak 18%-24% pendapatan wisatawan Singapura berasal dari kegiatan MICE. Bahkan untuk 2007, negara tersebut menaikkan target pendapatannya hingga 30% dari kunjungan MICE.
Selain Singapura, sebanyak 24% pendapatan sektor pariwisata Hongkong berasal dari MICE.
Indonesia sendiri 20% dari pendapatan pariwisatanya berasal dari MICE, dengan asumsi pendapatan US$1 miliar per tahun dari sektor tersebut.
Negara ini memiliki sepuluh daerah tujuan wisata. Bali, Bandung, Batam, Bukit Tinggi, Jakarta, Makassar, Medan, Menado, Surabaya dan Yogyakarta.
Idealnya, sepuluh daerah tujuan wisata Indonesia bisa mendapat pasar masing-masing 10% atau sekitar US$100 juta per tahun, termasuk di dalamnya Bandung.
Sayangnya, kue US$1 miliar tersebut baru dirasakan oleh Jakarta dan Bali dengan raihan kue masing-masing 40% atau sekitar US$400 juta untuk setiap daerahnya.
“Sisanya, 20% masih diperebutkan oleh delapan daerah lainnya dengan cara pariwisata konvensional,” tutur Iqbal.
Selain kedua kota tersebut, bukan Bandung yang menjadi urutan ketiga penyelenggaran MICE, padahal kota ini dekat dengan Jakarta.
Makassar ada di tempat ketiga yang sudah menjadi tuan rumah 50 event internasional hingga Juli 2007.
Daerah lain sudah mulai mengambil ancang-ancang memperoleh jatah 10% tersebut, paling gencar sekarang Medan. Jumlah US$100 juta per tahun sebuah angka yang menggiurkan.
Pemerintah Medan berani menaikkan anggaran promosi pariwisatanya hingga 700%, menjadi Rp35 miliar selama 2007.
Bagaimana dengan Bandung?
Keinginan Bandung menjadi kota MICE ternyata belum mendapat dukungan penuh dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pelaku industri pariwisata sendiri.
Hal tersebut nampak ketika ada beberapa acara pelatihan pengelolaan MICE di Jakarta untuk sepuluh daerah tujuan wisata Indonesia, wakil dari Bandung belum pernah ada yang hadir.
Entah memiliki strategi lain atau masih sibuk di tataran wacana, kota Bandung memang kurang menggeliat dalam meningkatkan potensi MICE yang ada saat ini. Dana promosi pariwisata pun tidak ada peningkatan.
Di lain pihak, pemerintah pusat ingin meratakan kue MICE ke seluruh wilayah dengan tujuan adanya peningkatan pendapatan dari sektor ini beberapa tahun ke depan.
“Akhirnya kami mulai menjalin kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar) tiap daerah untuk mengadakan pelatihan gratis,” ujar Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata I Gusti Putu Laksaguna.Setelah pelatihan peningkatan kapasitas pengelolaan MICE untuk pelaku industri dan pemerintah Jabar, termasuk Kota Bandung di dalamnya, semoga tahun depan Bandung bisa mengambil 10% dari besar kue yang ada.
Bandung bukan Bali yang sudah termasyur namanya. Bukan pula Yogyakarta dengan kekentalan kultur seni budaya. Namun, sebagai pusat fashion kota ini memang surga belanja para fashionista.
Hidup dari wisata belanja, Bandung memang baru benar-benar “hidup” pada akhir pekan, libur panjang akhir pekan (long weekend) serta liburan lainnya seperti sekolah dan hari raya.
Para wisatawan menikmati suasana belanja mulai dari baju bekas bermerek dengan harga Rp10.000 per tiga potong, hingga baju seharga Rp3 juta per potong. Semua kualitas juga tersedia di sini.
Bagaimana dengan kehidupan Bandung di luar waktu tersebut? Coba tilik dari denyut hotel yang ada di kota ini.
Kepala Dinas Pariwisata Kota Bandung M Askary W mengakui tingkat okupansi hotel di Bandung pada hari kerja (weekdays) berada pada kisaran 40%, berbeda dengan saat liburan yang bisa mencapai 90%-100%.
Terjadi selisih cukup besar dari data tersebut menunjukkan Bandung perlu menggiatkan potensi lain untuk mengisi okupansi hotel pada hari kerja dan menambah pundi-pundi pendapatan daerah.
Melihat kembali sejarah di masa lalu, ternyata kota ini memiliki potensi menjadi kota penyelenggeraan kegiatan MICE (Meeting, Incentive, Convention and Exhibition) berskala internasional.
Konfrensi Asia Afrika (KAA) pada April 1955 memjadi momentum pembuktian hal tersebut. Sayangnya, pada April 2005 ketika perayaan 50 tahun KAA, kegiatan pertemuan tidak lagi dilaksanakan di kota ini, melainkan Jakarta.
Ketidakmampuan kota ini akibat dari kurangnya pembangunan fisik untuk memfasilitisasi kegiatan MICE kelas dunia. Sehingga banyak kesempatan lewat begitu saja.
Saat ini, para pengusaha hotel di Bandung dan Dinas Pariwisata Kota Bandung sedang berusaha meningkatkan kegiatan MICE di Bandung.
Tujuannya bukan hal besar untuk mengembalikan Bandung sebagai kota MICE internasional seperti saat KAA dulu, namun untuk mengisi okupansi hotel di weekdays yang rendah.
Pelaku industri pariwisata kota ini sendiri gencar meminta pemerintah untuk membangun gedung pertemuan (convention hall) dengan kapasitas diatas 5.000 orang untuk meningkatkan kegiatan MICE di kota ini.
Sayangnya, keinginan tersebut belum akan terealisasi karena belum ada pengusaha hotel ataupun pengembang yang tertarik berinvestasi membangun satu gedung pun dalam waktu dekat ini.
“Itu bukan alasan perkembangan kegiatan MICE di Bandung jadi terhambat. Berdasarkan statistik internasional, 75% kegiatan MICE hanya diikuti 200-300 peserta, bukan diatas 5.000 peserta,” ujar Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) INCCA Iqbal Alan Abdullah.
Hampir semua hotel berbintang di Bandung, bahkan beberapa restoran dan kafe mampu menampung jumlah peserta tersebut. Kini, yang diperlukan adalah peningkatan fasilitas dan paket yang ditawarkan.
Dengan target 10 kegiatan MICE per hari, sudah cukup untuk menaikkan okupansi hotel hingga 75% pada hari kerja. “Kan untuk sebuah kegiatan peserta minimal tinggal selama 3 hari.”
Efek dominonya, kegiatan MICE akan menggairahkan wisata lainnya, seperti wisata belanja, kuliner dan alam. Setiap kegiatan MICE tentu dilengkapi dengan tur kota ke objek wisata unggulan daerah tersebut.
Potensi US$100 juta per tahun
Menilik data terbaru dari Indonesia Conggress and Convention Association (INCCA), Indonesia masih kalah dengan beberapa negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Thailand dan Hongkong.
Sebanyak 18%-24% pendapatan wisatawan Singapura berasal dari kegiatan MICE. Bahkan untuk 2007, negara tersebut menaikkan target pendapatannya hingga 30% dari kunjungan MICE.
Selain Singapura, sebanyak 24% pendapatan sektor pariwisata Hongkong berasal dari MICE.
Indonesia sendiri 20% dari pendapatan pariwisatanya berasal dari MICE, dengan asumsi pendapatan US$1 miliar per tahun dari sektor tersebut.
Negara ini memiliki sepuluh daerah tujuan wisata. Bali, Bandung, Batam, Bukit Tinggi, Jakarta, Makassar, Medan, Menado, Surabaya dan Yogyakarta.
Idealnya, sepuluh daerah tujuan wisata Indonesia bisa mendapat pasar masing-masing 10% atau sekitar US$100 juta per tahun, termasuk di dalamnya Bandung.
Sayangnya, kue US$1 miliar tersebut baru dirasakan oleh Jakarta dan Bali dengan raihan kue masing-masing 40% atau sekitar US$400 juta untuk setiap daerahnya.
“Sisanya, 20% masih diperebutkan oleh delapan daerah lainnya dengan cara pariwisata konvensional,” tutur Iqbal.
Selain kedua kota tersebut, bukan Bandung yang menjadi urutan ketiga penyelenggaran MICE, padahal kota ini dekat dengan Jakarta.
Makassar ada di tempat ketiga yang sudah menjadi tuan rumah 50 event internasional hingga Juli 2007.
Daerah lain sudah mulai mengambil ancang-ancang memperoleh jatah 10% tersebut, paling gencar sekarang Medan. Jumlah US$100 juta per tahun sebuah angka yang menggiurkan.
Pemerintah Medan berani menaikkan anggaran promosi pariwisatanya hingga 700%, menjadi Rp35 miliar selama 2007.
Bagaimana dengan Bandung?
Keinginan Bandung menjadi kota MICE ternyata belum mendapat dukungan penuh dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat maupun pelaku industri pariwisata sendiri.
Hal tersebut nampak ketika ada beberapa acara pelatihan pengelolaan MICE di Jakarta untuk sepuluh daerah tujuan wisata Indonesia, wakil dari Bandung belum pernah ada yang hadir.
Entah memiliki strategi lain atau masih sibuk di tataran wacana, kota Bandung memang kurang menggeliat dalam meningkatkan potensi MICE yang ada saat ini. Dana promosi pariwisata pun tidak ada peningkatan.
Di lain pihak, pemerintah pusat ingin meratakan kue MICE ke seluruh wilayah dengan tujuan adanya peningkatan pendapatan dari sektor ini beberapa tahun ke depan.
“Akhirnya kami mulai menjalin kerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar) tiap daerah untuk mengadakan pelatihan gratis,” ujar Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata I Gusti Putu Laksaguna.Setelah pelatihan peningkatan kapasitas pengelolaan MICE untuk pelaku industri dan pemerintah Jabar, termasuk Kota Bandung di dalamnya, semoga tahun depan Bandung bisa mengambil 10% dari besar kue yang ada.