Menyingkap praktik pungli pengurusan kargo bandara

Sistem national single window (NSW) di Bandara Soekarno-Hatta dijadwalkan mulai diterapkan pada akhir tahun ini. Banyak pihak, khususnya pelaku usaha, mengharapkan sistem pelayanan terpadu itu akan jauh lebih baik dibandingkan dengan metode saat ini.
Namun, upaya perbaikan tersebut belum berjalan mulus. Pelaku usaha, khususnya importir, pengusaha jasa kiriman ekspres, dan forwarder, masih mengeluhkan lamanya proses pengurusan dokumen untuk mengeluarkan barang, termasuk di dalamnya praktik pemberian uang 'di bawah meja' kepada oknum petugas Bea Cukai.
Mereka mengaku hal tersebut sudah menjadi sebuah kewajaran, memberikan uang 'receh' kepada petugas ketika mengurus dokumen sekadar untuk memperlancar proses.
"Bisa sih nggak ngasih, tetapi perusahaan yang tidak pernah memberi tips biasanya diapalin dan kalau ngurus lagi akan diperlambat. Biasanya data barang sudah keluar, tetapi dibilang belum ada karena nggak pernah ngasih," ujar seorang karyawan forwarder yang enggan disebutkan identitasnya.
Pekan lalu, Bisnis mendapat kesempatan menjadi 'karyawan magang' di sebuah perusahaan forwarder menemani karyawan yang mengurus dokumen impor di Soekarno-Hatta.
Proses kargo di bandara itu sebenarnya cukup mudah, tetapi bisa menjadi sulit dan sangat mahal. Barang impor ditaruh di gudang dengan biaya sewa cukup tinggi.
Biaya sewa gudang dikenakan mulai dari barang dimasukkan hingga seluruh dokumen selesai diurus dan barang boleh keluar. Biaya sewa tiga hari pertama dihitung satu hari, baru kemudian dihitung harian dengan tarif dolar AS.
Logikanya, semakin lama proses pengurusan dokumen pengeluaran barang, semakin tinggi biaya yang harus dikeluarkan.
Langkah pertama pengeluaran barang bisa dianggap selesai apabila semua dokumen data barang lengkap, mulai dari NPWP pemilik, hingga airway bill dari maskapai. Setelah itu, pihak yang ditunjuk memasukkan seluruh data kepada Bea Cukai.
Setelah data dimasukkan, keluar dokumen pemberitahuan impor barang (PIB) dan formulir penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dibeli resmi Rp50.000 per dokumen.
Uang pelicin
PNBP diperlukan untuk mendapatkan pertukaran data elektronik (PDE) manifest. PDE manifest diperlukan untuk mendapatkan pos pemisahan unit (Pos PU). Saat data barang dimasukkan melalui flash disk inilah diperlukan sedikit uang pelicin.
Importir juga memerlukan surat proses pengeluaran barang atau custom clearance dengan PNBP dan dibebankan biaya Rp100.000 per dokumen.
Jika catatan barang antara air waybill dan PDE manifest cocok, importir masuk jalur hijau dan tinggal membayar biaya pajak dan lain-lain yang tertera dalam PIB untuk mengeluarkan barang dari gudang.
Sayangnya, bagi importir yang isi air waybill dan PDE manifest-nya berbeda akan terkena red dress (importir baru) dan dikenakan biaya lagi.
Beban biaya inilah yang masih menjadi perdebatan karena seharusnya ditanggung oleh maskapai. Namun, di Indonesia, kesalahan ini ditanggung oleh importir atau forwarder.
Dokumen yang terkena red dress biasanya masuk dalam jalur merah dan harus melalui proses pemeriksaan barang sebelum boleh membayar PIB dan mengeluarkan barangnya dari gudang.
Jumlahnya uang pelicin tersebut memang relatif kecil, rata-rata Rp15.000 per dokumen. Namun perlu diketahui, setiap harinya ada ribuan dokumen masuk ke Soekarno-Hatta.
Apalagi saat ini volume impor jauh lebih tinggi dibandingkan dengan volume ekspor. Secara sederhana, jika ada 1.000 dokumen saja yang masuk dalam satu hari, petugas berhasil mengumpulkan 'uang receh' itu sekitar Rp15 juta per hari.
Meski nilainya relatif kecil, tetapi jika dijadikan budaya dan dianggap wajar, kebiasaan ini akan merusak sistem.
Kepala Seksi Otomasi Sistem dan Prosedur Bea Cukai Jamin mengaku tidak tahu adanya uang pelicin untuk mempercepat pengurusan dokumen impor di Soekarno-Hatta.
Ketika dikonfirmasi, Dirjen Bea Cukai Anwar Suprijadi menanegaskan tidak ada pungutan liar di jajarannya. "Bila ada oknum petugas yang seperti itu, mohon dilaporkan langsung pada saya," tegasnya.

publish at Bisnis Indonesia, 22 Mei 2008