Mengintip peta persaingan perposan di Senayan

Jangan terlalu berharap RUU Perposan akan selesai dalam waktu dekat ini karena tarik menarik kepentingan antara PT Pos Indonesia (Posindo) dan Asosiasi Jasa Pengiriman Ekspres Indonesia (Asperindo) masih belum sampai pada titik temu.
Iklim kompetisi yang dibangun Posindo dengan kalangan perusahaan kiriman swasta yang tergabung dalam Asperindo telah terjadi sejak dahulu. Posindo sebagai BUMN perposan tentu saja memiliki sejumlah hak istimewa sebagaimana BUMN-BUMN di sektor lainnya.
Hal tersebut memicu kecemburuan perusahaan swasta yang juga ingin mendapatkan kue kiriman logistik yang kabarnya mencapai Rp5 triliun setiap tahunnya.
Pengusaha swasta menuduh subsidi untuk Posindo disalahgunakan untuk pengiriman barang-barang besar atau dengan kata lain, Posindo telah masuk ke dalam bisnis logistik menggunakan fasilitas pemerintah.
Asperindo meminta RUU tersebut mencakup seluruh hal termasuk logistik karena Posindo pun telah masuk bisnis itu menggunakan fasilitas PSO dan kemudahan bea cukai yang berdampak pada penurunan pelanggan perusahaan swasta.
Posindo ingin RUU tersebut hanya mengatur pada hal-hal yang terkait dengan usaha pos di luar logistik, dengan dana publik bersubsidi atau PSO menjadi hak eksklusif miliknya.
Hal tersebut dikarenakan pada segmen kiriman surat telah berlaku praktik persaingan bebas, sebagaimana yang terjadi pada pengiriman barang lainnya.
Apabila melihat ke belakang, RUU Perposan ini pada dasarnya merupakan permintaan pembaruan dari UU No. 6/ 1984 tentang Pos yang dinilai sudah banyak terjadi pelanggaran pada pemberlakuannya.
Hak eksklusif
UU No. 6/1984 tentang Pos dianggap tidak sesuai terkait dengan kebijakan monopoli dan sistem kerja sama yang dimiliki Posindo.
UU tersebut memberikan hak eksklusif pada pemerintah untuk melayani kiriman barang sampai dengan 2 kg yang pengelolaannya diserahkan kepada Posindo.
Sekarang, pada kenyataannya banyak perusahaan anggota Asperindo yang melayani pengiriman dalam kota dengan berat barang kurang dari ketentuan tersebut.
Selain itu, sebagai badan usaha milik negara (BUMN), Posindo memeroleh hak monopoli, sementara di sisi lain masih mendapat subsidi. Swasta keberatan karena fasilitas subsidi pemerintah juga digunakan untuk melayani kiriman-kiriman besar.
"Hal tersebut seperti subsidi salah sasaran," ujar Ketua Asperindo M. Kadrial.
Posindo juga menggunakan kerja sama khusus dengan Bea Cukai untuk bisnis logistik umum dengan target pelanggan sama dengan perusahaan logistik swasta.
Akhirnya, banyak pelanggan perusahaan logistik swasta beralih ke Posindo karena aturan bea cukainya jauh lebih lunak dibandingkan dengan aturan yang diterapkan pada pihak swasta.
Pelaku usaha logistik menilai hal tersebut sebagai bentuk persaingan yang tidak sehat, karena Posindo masuk bisnis logistik dengan segmen pelanggan sama tetapi menggunakan fasilitas eksklusif yang seharusnya tidak diberikan untuk bisnis logistik.
Dirut Posindo Hana Suryana membantah keras tuduhan tersebut dan mengatakan yang diterima Posindo bukanlah subsidi, melainkan ganti ongkos atas tersedianya layanan pada 2.350 kantor pos cabang di luar kota. Biaya PSO lebih rendah daripada actual cost yang dikeluarkan perseroan tersebut sehingga kekurangannya dibayar BUMN perposan itu.
"Bisnis logistik baru dalam penjajakan, sangat terbuka kepada siapa pun termasuk swasta untuk bekerja sama," tandasnya.
Kuatnya tarik ulur antara dua pihak tersebut menjadikan pembahasan RUU Perposan menjadi berlarut-larut sehingga memicu ketidakpastian usaha bagi pelaku industrinya. Bahkan kalangan pengusaha swasta menilai RUU Perposan tersandung di Komisi I DPR.
Menanggapi hal itu, Anggota Komisi I DPR Deddy Djamaluddin Malik menganggapo hal itu hanyalah tafsir sebagian orang.
*me and Arif Pitoyo, for Bisnis Indonesia